Minggu, 10 Juni 2012

The Story of James and Lily Potter - Bagian 10


Pelajaran Ramuan telah usai. Saatnya Pelajaran Mantra. Tapi dalam perjalanan mereka ke kelas Mantra, keempat sekawan bertemu dengan Severus. “Hai, Snivellus,” kata James, pura-pura ramah. “Kau tak perlu pura-pura ramah di hadapanku, anak manja. Jangan sombong hanya karena kau unggul di kelas Ramuan tadi, anak manja!” seru Severus sinis. “Kau masih berani memanggil James seperti itu rupanya, Snivellus!” kata Sirius marah. James, Remus, dan Peter juga menunjukkan muka marah, tapi James buru-buru merubah ekspresi wajahnya menjadi ekspresi wajah ramah, ketika dia melihat Lily dari kejauhan, berjalan ke arah mereka. “Snivellus sayang, bersyu-kurlah, bahwa kami belum diajari mantra untuk menyerang, maka kami tak berda-ya,” kata James masih pura-pura ramah. “Bagus kalau kau mengakui bahwa kau tak berdaya, anak manja!” bentak Severus.
 “Jangan bentak dia, Severus,” kata Lily yang tiba-tiba datang. “Oh, hai, Lily. Kau jangan mempercayainya, dia tidak seperti yang kaubayangkan,” jawab Seve-rus sinis sambil memandang James, seakan James adalah orang hina. “Terima kasih, Evans, kau telah membelaku,” kata James, suaranya menunjukkan rasa terima kasih yang tulus. “Sama-sama, Potter,” jawab Lily, lalu tersenyum.
Jantung James berdegup kencang. Senyuman Lily serasa telah membuatnya melayang. Tapi, kata-kata Severus telah menyadarkannya kembali. “Jangan bersi-kap terlalu baik padanya, Lily, dia tidak seperti....” kata Severus, lalu dipotong oleh Lily, “Sudahlah, ayo segera masuk, Profes-sor Flitwick telah menunggu.” Keenam anak itu pun masuk.
“Kenapa kalian tidak segera masuk, eh? Apakah sulit masuk ke dalam kelas ini? Lain kali kalau terlambat lagi, kalian akan menjalani detensi. Untuk kali ini, hanya lima angka dipotong untuk setiap anak,” kata Professor Flitwick agak marah. Keenam anak pun duduk.
Pelajaran Mantra berlangsung hampir sama dengan Pelajaran Ramuan tadi. James dan Sirius tidak mau membaca buku, tapi keduanya bisa melakukan apa yang disuruh Professor Flitwick. Mungkin mereka berdua memang dilahirkan berotak cerdas.
Setelah pelajaran Mantra usai, saatnya makan siang. Ketika James, Sirius, Remus, dan Peter memasuki Aula Besar, mereka mendengar beberapa anak perempuan berbisik-bisik.
“Hei, itu Potter.” “Hei lihat, Potter benar-benar tampan.” “Oh, dia sungguh tampan.” “Lihatlah Potter. Kudengar, selain dia sangat tampan dia juga pandai.” “Seandainya dia sudah kelas lima, aku akan memacarinya!” “Benar-benar tam-pan!”
Begitulah bisikan-bisikan para gadis itu yang bisa didengar James dan teman-temannya. Semuanya berbisik dengan nada kagum. James tidak heran, dia malah menyombongkan diri. Dia mengacak-acak rambutnya yang berantak-an, membuatnya malah terlihat lebih keren.
“Hai, Evans,” sapa James yang melihat Lily sedang duduk di meja Gryffindor. “Oh, hai, Potter,” jawab Lily ramah. Lalu James dan teman-temannya duduk di tempat duduk yang tidak jauh dari tempat Lily duduk.
“Hari ini kau pasti senang sekali-gus kesal, kan, James?” tanya Sirius. “Yah, kau benar Sirius. Sungguh menyenangkan dan menyebalkan,” jawab James, dan ketika itu Lily bangkit berdiri lalu meninggalkan Aula Besar. “Kenapa bisa begitu?” tanya Peter bingung. “Oh, kau harus perbaiki otakmu, Peter. Agar benda itu bisa kaugunakan untuk berpikir,” kata Sirius, nada suaranya seperti orang yang sedang bercanda. “Yah, mungkin, Sirius. Tapi karena aku belum memperbaikinya, kau harus memberitahuku,” jawab Peter, lalu keempatnya tertawa kecil. “Baik, baik, kuberitahu kau. James senang karena dibela oleh Evans tadi, sebelum pelajaran Mantra. Tapi, yang membuat James kesal adalah Evans dan Snivellus saling panggil nama depan, bukan begitu, James?” tanya Sirius, mengerling pada James. “Yeah,” jawab James lemah.

Rabu, 06 Juni 2012

The Story of James and Lily Potter - Bagian 9


Hari telah berganti. Para murid Hogwarts akan memulai pelajaran pertama mereka hari ini. Dan pelajaran pertama bagi anak kelas satu adalah Ramuan.
“Selamat pagi, anak-anak,” kata Professor Slughorn, guru Ramuan. “Selamat pagi, Professor Slughorn,” jawab para murid serentak. “Bacalah bukumu sejenak, halaman tujuh, sebelum kita benar-benar mulai pelajaran,” kata Professor Slughorn. Semua anak mengelu-arkan buku mereka masing-masing dan mulai membacanya, kecuali, James dan Sirius. “Potter! Black! Kenapa kalian tidak membaca buku kalian?” tanya Professor Slughorn marah. “Maaf Professor, tapi kami sudah hafal keseluruhan isi buku,” jawab James menantang. “Kalau begitu, katakan padaku, apa yang kaudapat jika kau menambahkan bubuk akar asphodel ke cairan wormwood?” tanya Professor Slughorn. “Campuran asphodel dan wormwood akan menghasilkan obat tidur yang kuat sekali sehingga disebut Tegukan Hidup Bagai Mati, Sir,” jawab Sirius enteng. “Lalu, apa itu bezoar?” tanya Professor Slughorn lagi, seolah tak puas pertanyaannya bisa dijawab dengan mudah. “Bezoar adalah batu yang diambil dari perut kambing dan bisa menyelamat-kan dari hampir semua racun, Sir,” jawab James, juga enteng. “Dan, apa perbedaan antara monkshood dan wolfsbane?” tanya Professor Slughorn lagi, masih tidak puas. “Mereka adalah tanaman yang sama, Professor. Dan mereka juga biasa disebut aconite, Sir,” jawab Sirius masih enteng. “Nah, pertanyaan terakhir, bisakah kau memberitahuku satu ramuan saja, dan bagaimana cara membuatnya?” tanya Professor Slughorn, seakan yakin pertanyaannya tak akan bisa dijawab.
“Cairan Foodey, Professor. Cairan itu digunakan untuk memberi makan hewan peliharaan, agar semakin sehat dan dapat hidup bertahun-tahun karena memi-liki kekuatan tertentu. Tapi, penggunaan ramuan ini hanya boleh sekali untuk seumur hidup hewan itu. Untuk membuat-nya, kita hanya perlu daun chestnut, buah beri kuning-merah, dan akar blackthorn. Pertama-tama, rebus akar blacthorn sampai larut. Akar blackthorn itu akan larut setelah lima menit, maka, sambil menunggunya larut, kita bisa mengupas buah beri kuning-merah, menyisakan hanya kulitnya dan daging buahnya dibuang. Setelah akar blackthorn larut, masukkan daun chestnut dan kulit buah beri kuning-merah, tunggu sampai tiga puluh menit dan Cairan Foodey pun siap,” jawab James panjang lebar. Dia jelas tahu cairan ini karena ayahnya pernah mengajarinya membuat cairan ini, yang diberikan pada Hewtern, burung hantu James.
“Luar biasa, Potter. Definisi lisan yang sangat baik. Lima belas angka untuk Gryffindor. Itu adalah cairan yang akan kita pelajari hari ini, Cairan Foodey. Nah, Potter, kurasa kau bisa menunjukkan pada teman-temanmu cara membuatnya?” kata Professor Slughorn, alisnya terangkat. “Baik, Professor,” jawab James, suaranya seperti orang sombong yang bisa melakukan apapun.
James, mulai mengambil bahan-bahan yang diperlukannya. Daun chestnut, buah beri kuning-merah, dan akar blackthorn. Dia juga menyiapkan pisau dan kualinya. Dia mengambil tongkat sihirnya dari balik jubahnya.
Dia menyalakan api dengan tongkat sihirnya. Setelah dia melakukan ini, banyak anak yang terkagum, karena mereka belum belajar apa-apa tentang suatu mantra. Merasa dirinya dikagumi, James pun semakin sombong. Akhirnya dia juga mengisi kualinya dengan air yang dihasilkan oleh sihir. “Aguamenti,” desisnya. Air keluar dari tongkat sihirnya, mengisi kuali itu kira-kira setengahnya. Lalu, James memasukkan akar blackthorn yang sebelumnya telah dicuci dan dipotong menjadi dua bagian sama besar. Lalu, sambil menunggu, ia mengupas buah beri kuning-merah.
Setelah lima menit, akar blackthorn dalam kuali James telah larut. James pun memasukkan daun chestnut dan kulit buah beri kuning-merah ke dalam kualinya. Larutan yang awalnya berwarna hitam pekat, perlahan berubah menjadi jingga.
“Baik, karena kita harus menunggu tiga puluh menit lagi, kurasa kalian perlu melakukannya juga, agar kalian juga bisa membuat ramuan ini, terutama bagi kalian yang hewan peliharaannya belum diberi cairan ini,” kata Professor Slughorn.

The Story of James and Lily Potter - Bagian 8


Pesta telah berakhir. Remus dan Peter ada di Gryffindor, bersama kedua teman mereka. Prefek Gryffindor, mengantar semua anak kelas satu yang ditempatkan di Gryffindor ke menara Gryffindor. Ketika sampai, dua orang gadis kelas lima menghampiri James yang sedang bersama ketiga temannya.
“Hai. Apakah kau, Potter?” tanya salah seorang gadis dari kedua gadis kelas lima itu. Dia kurus, tingginya sekitar tiga puluh senti lebih tinggi daripada James, rambutnya panjang dan berwarna hitam pekat. “Ya, aku James Potter,” jawab James singkat. “Dia benar-benar tampan, seperti yang orang-orang bicarakan,” bisik gadis yang satunya, tingginya kira-kira  dua senti lebih pendek dari temannya, rambutnya pirang. “Iya, benar. Sungguh sangat tampan,” jawab gadis yang tadi menanyai James, juga berbisik. Tetapi bisikan kedua gadis itu terdengar oleh James. “Maaf?” tanya James, gayanya cool bagaikan selebritis. “Tidak apa-apa. Um, aku Theresia Tan,” kata gadis yang berambut hitam. “Aku Felicia Stanner,” kata gadis yang berambut pirang. “James Potter,” jawab James singkat. “Senang berkenalan denganmu, Potter,” kata kedua gadis, hampir bersamaan. “Senang berkenalan dengan kalian juga,” kata James, tersenyum, senyumannya serasa menghipnotis setiap wanita yang melihatnya.
“Kau terkenal, James!” kata Sirius, ketika mereka berempat telah sampai di kamar. Mereka mendapat kamar yang sama, dengan anak laki-laki lain yang juga kelas satu, Arthur Weasley. Tapi, anak itu sedang tidak di kamar, dia masih di Ruang Rekreasi Gryffindor, sehingga mereka berempat bebas bicara. “Bagaimana bisa?” tanya James bingung. “Ya, kau tahu sendiri, kau kan anak tunggal Menteri yang sangat tampan,” jawab Peter seakan mengejek. “Mereka benar, kalau begitu?” kata Remus, lalu tertawa. “Oh ya, kau yang paling tampan di antara kami, James,” kata Peter kagum. Peter memang mengagumi James sejak awal persahabatan mereka.
             “Banyak gadis akan naksir kau sobat,” kata Sirius, tapi suaranya seperti orang tua yang khawatir ketika anaknya akan pergi jauh. “Apakah itu akan termasuk, Evans, Sirius?” tanya James, wajahnya berseri-seri. “Mungkin,” jawab Sirius datar. “Siapa Evans?” tanya Peter. Wajahnya menunjukkan kebingungannya. “Gadis cantik yang duduk di hadapan James ketika pesta tadi,” jawab Sirius. “Kau selalu suka menjawab apa yang seharusnya kujawab, Sirius,” kata James, marah tetapi bercanda. “Bukankah itu baik? Kau harus menyimpan suaramu untuk menolak para gadis, bila kau benar-benar menyukai Evans,” kata Sirius, lalu tertawa pelan. “Kau benar, Sirius!” seru James dan mengedipkan sebelah matanya ke arah Sirius. “Hey! Kita masih kelas satu. Bisakah kita membicarakan hal lain, yang lebih sesuai untuk kita?” kata Remus. “Apa, misalnya?” tanya James. “Membuat kekacauan, dan mengerjai Snivellus mungkin akan jadi hal yang menyenang-kan bagi kita, James,” kata Sirius, wajahnya cerah ceria sekarang. “Aku tidak berminat pada kekacauan,” kata Remus lalu mengambil salah satu bukunya dari dalam tasnya. 
              Seorang anak laki-laki seumuran mereka berempat masuk ke kamar itu. “Oh, rupanya kau yang akan menempati ranjang terakhir di kamar ini,“ kata Sirius pada anak laki-laki yang tingginya hampir sama dengannya, rambutnya merah men-colok dan ada bintik-bintik kecil di wa-jahnya. “Ya. Ada masalah?” tanya anak la-ki-laki itu, nada suaranya seperti menan-tang. “Tidak ada. Siapa namamu?” tanya James, ramah. “Weasley, kurasa. Rambut merah mencolok dan bintik di wajah,” kata Peter menebak. “Yeah, kau benar. Arthur Weasley. Dan,” kata si anak laki-laki yang menoleh ke arah Peter, lalu sekarang menoleh ke arah James, “Kau pasti Potter?” tanya anak yang bernama Arthur itu. “Ya. Kau bisa panggil aku James kalau kau mau,” jawab James. “Baiklah. Lalu, boleh aku tahu nama kalian bertiga?” tanya Arthur, menoleh ke Sirius, Peter, dan Remus bergantian. “Aku Sirius Black, ini Peter Pettigrew, dan yang membaca buku itu Remus Lupin,” jawab Sirius, sama ramahnya dengan James. “Kau harus berbahagia, Arthur. Mereka tak biasanya ramah dengan orang yang baru dikenal,” kata Peter, lalu tertawa pelan. “Peter!” kata Sirius, marah tetapi bercanda. “Um, maaf. Tapi, aku sesungguhnya tak peduli,” kata Arthur pelan, lalu berbaring di atas ranjangnya dan menutup tirai ranjangnya.

The Story of James and Lily Potter - Bagian 7


“Aku baru ingat, Sirius, itu anak perempuan yang kulihat di toko Mr. Ollivander hari itu,” kata James kepada Sirius ketika Professor McGonnagal memanggil “Lily Evans”. James memang menceritakan pertemuannya dengan anak perempuan itu lewat surat. “Oh, dia memang sangat cantik, James. Tapi kudengar dia kelahiran-Muggle,” jawab Sirius. “Aku tak peduli, Sirius. Aku menyukainya sejak pertama melihatnya di Diagon Alley,” kata James bersemangat, ketika Topi Seleksi meneriakkan “Gryffin-dor” untuk Lily. “James Potter,” panggil Professor McGonagall. James pun maju, yakin sekali bahwa dia juga akan masuk Gryffindor, agar keinginannya untuk mengajak anak perempuan yang bernama Lily itu berkenalan bisa terwujud. “James Potter. Membingungkan. Semua asrama cocok untuk karakternya. Sosok yang pemberani dan jujur, cocok untuk Gryffin-dor. Licik dan cerdas, cocok untuk Slythe-rin. Rajin dan berotak encer, cocok untuk Ravenclaw. Mau bekerja keras dan setia, cocok untuk Hufflepuff. Di mana kau mau ditempatkan, Nak?” gumam Topi itu pelan, ketika James memakainya. James berkata dalam hati, “Kau yakin aku boleh memilih? Kalau ya, tentu saja aku memilih Gryffindor. Yang berani, jujur, cerdas, pandai, mau bekerja keras, dan setia. Cocok sekali kan untuk Gryffindor?”
Topi itu diam, cukup lama, kira-kira semenit penuh. James bingung, begitu juga para guru dan semua anak. Lalu topi itu bergumam lagi, “Kuakui kalimatmu benar, nak. Aku menemukan garis keturunan Peverell, seluruh Peverell di Gryffindor, dan, aku juga menemukan gars keturunan Gryffindor! Nah kalau begitu, GRYFFINDOR!” kata Topi itu, dan kata terakhir diucapkannya dengan teriakan. Seluruh anak Gryffindor bertepuk tangan karena anak tunggal Menteri bergabung dengan mereka. James pun berjalan ke meja Gryffindor dan duduk di hadapan Lily.
“Hai, aku James Potter,” kata James mengulurkan tangannya. “Ya, aku sudah tahu. Aku Lily Evans,” jawab Lily dan menjabat tangan James, tapi dia nampak masih kesal karena kejadian di kereta. “Kita pernah bertemu di Diagon Alley, apa kau ingat?” tanya James. “Ya, tentu saja. Kau yang berbaik hati membiarkanku dilayanani lebih dulu, kalau tidak mungkin aku ke sini dengan banyak luka,” jawab Lily masih kesal. “Kenapa begitu?” tanya James bingung. “Waktu itu aku bergegas pulang. Kakakku sendirian di rumah. Kalau aku pulang lebih malam, mungkin dia akan marah-marah dengan memukuliku,” jawab Lily, nam-paknya kekesalannya mereda. “Kakak? Kau punya kakak? Kelas berapa dia?” tanya James. “Kakak dan orang tuaku Muggle,” jawab Lily pelan. “Oh, maaf,” kata James, suaranya direndahkan, dan Lily hanya mengangguk.
“Hey, James,” panggil Sirius sambil menepuk punggung James yang sedang mengobrol dengan Lily. “Kau di Gryffindor?” tanya James senang. “Yap! Bagus, bukan?” jawab Sirius juga senang, lalu duduk di sebelah James. “Sangat! Bagaimana dengan Remus dan Peter?” tanya James. “Tak tahu, nama mereka belum dipanggil. Dan, apakah kau tahu, Snivellus masuk Slytherin?” jawab Sirius. “Oh dia memang cocok di sana,” jawab James sambil tertawa pelan. “Dan ibuku akan memarahiku,” jawab Sirius, tapi dia sama sekali tidak sedih, seakan dia senang sekali telah melanggar peraturan. “Kena-pa?” tanya James heran. “Oh, jangan pura-pura tidak tahu, James,” kata Sirius. “Ya, ya, aku mengerti. Ah, Sirius, ini Lily Evans, yang kulihat di Diagon Alley hari itu,” jawab James. “Oh, hai. Aku Sirius Black,” kata Sirius yang sekarang menoleh ke arah Lily dan mengulurkan tangannya. “Aku Lily Evans,” jawab Lily lalu menjabat tangan Sirius.

The Story of James and Lily Potter - Bagian 6


“Kalian di sini rupanya,” kata anak yang bernama Remus. “Kaukira kami di mana, Remus?” tanya Sirius, tersenyum bercanda. “Kami sudah mencari kalian ke mana-mana, tapi tetap saja tidak ketemu!” seru anak yang bernama Peter. Peter dan Remus duduk. Mereka langsung bercanda bersama dalam kompartemen kecil itu.
Hari sudah gelap, malam sudah tiba. Murid-murid kelas satu turun di Stasiun Hogsmeade, dan bertemu Hagrid. “Halo, Hagrid,” sapa James. “Halo James, Sirius, Remus, Peter,” sapa Hagrid pada empat anak itu. Lalu Hagrid mengantar anak-anak kelas satu naik boat ke kastil. Setiba mereka di kastil, Acara Seleksi pun dimulai. Professor McGonagall sebagai wakil Kepala Sekolah Hogwarts masuk ke Aula Besar membawa kursi kayu dan sebuah topi tua yang sudah bertambal, berjumbai, dan kotor sekali. Lalu, robekan di dekat tepinya mulai membuka lebar seperti mulut, dan topi itu mulai menyanyi.
“Oh, mungkin menurutmu aku jelek
Tapi jangan menilaiku dari penampilanku,
Berani taruhan takkan bisa kautemukan
Topi yang lebih pintar dariku.
Jubahmu boleh hitam kelam,
Topimu licin dan tinggi
Aku mengungguli semua itu
Karena di Hogwarts aku Topi Seleksi.
Tak ada apapun dalam pikiranmu
Yang bisa kausembunyikan dariku,
Jadi pakailah aku dan kau akan kuberitahu
Asrama mana yang cocok untukmu.
Mungkin kau sesuai untuk Gryffindor,
Tempat berkumpul mereka yang berhati berani dan jujur,
Keberanian, keuletan, dan kepahlawanan mereka
Membuat nama Gryffindor masyhur;
Mungkin juga Hufflepuff-lah tempatmu,
Bersama mereka yang adil dan setia,
Penghuni Hufflepuff sabar dan loyal
Kerja keras bukan beban bagi mereka;
Atau siapa tahu di Ravenclaw,
Kalau kau cerdas dan mau belajar,
Ini tempat para bijak dan cendekia,
Ajang berkumpul mereka yang pintar;
Atau bisa juga di Slytherin
Kau menemukan teman sehati,
Orang-orang licik ini menggunakan segala cara
Untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Jadi segeralah pakai aku!
Janganlah takut dan jangan ragu!
Dijamin kau akan aman
Karena aku Topi Seleksi-mu!”

Seluruh Aula meledak dalam tepuk tangan riuh-rendah ketika Topi Seleksi mengakhiri nyanyiannya. Topi itu membungkuk ke arah empat meja, kemudian diam lagi. Lalu, Professor McGonagall berdiri di belakang topi, memegangi gulungan perkamen panjang. “Yang disebut namanya harap maju dan memakai topi, lalu duduk di atas kursi untuk diseleksi,” katanya.

The Story of James and Lily Potter - Bagian 5


Hari yang dinanti pun tiba. Hari saatnya berangkat ke Hogwarts. Lily bertemu lagi dengan Severus di Stasiun King’s Cross, dan memasuki peron sembilan tiga perempat bersama. Sebenar-nya, Lily ingin sekali menemui anak laki-laki yang ditemuinya di Diagon Alley beberapa hari yang lalu. Tetapi, sampai kereta api berwarna merah tua itu sudah bergerak sejak lima menit yang lalu, dia sama sekali tak melihat anak laki-laki itu. Lily dan Severus memutuskan untuk mengambil kompartemen yang sama.
“Tuney masih tidak suka aku berangkat, Severus,” kata Lily, nampaknya meneteskan air mata. “Kau tak perlu bersedih! Kita sekarang berangkat ke Hogwarts! Bukankah itu yang kau tunggu?” tanya Severus bersemangat. “Ya, kau benar,” kata Lily pelan, tak sepenuhnya bersemangat. “Kau sebaiknya di Slytherin,” kata Severus tiba-tiba. “Slytherin? Apakah itu asrama yang terbaik?” tanya Lily. “Entahlah, Ibuku dulu di Slytherin,” jawab Severus.
Tanpa mereka sadari, ada dua anak laki-laki lain yang berdiri di luar kompartemen. Mereka tiba-tiba masuk dan duduk. “Slytherin? Kalau aku lebih baik keluar daripada masuk Slytherin. Iya, kan, Sirius?” tanya salah satu dari mereka, yang jangkung, berambut hitam berantakan dan mencuat di bagian belakang, tapi tampan, kepada yang lain yang agak lebih pendek, berambut hitam bergelombang, yang juga tampan. Lily sepertinya pernah melihat salah satu dari mereka.
“Seluruh keluargaku di Slytherin, James,” jawab anak laki-laki yang bernama Sirius. “Oh, aku lupa, Sirius,” jawab James, tapi tampak tidak merasa bersalah. “Tapi aku pasti akan merubah tradisi ini! Di mana kau ingin ditempatkan, kalau kau bisa memilih, James?” tanya Sirius bersemangat. “Gryffindor, tentu saja. Tempat berkumpulnya mereka yang berjiwa berani dan gagah perkasa, kata Dad. Kedua orang tuaku dari sana,” jawab James bersemangat. “Yah, kalau kau lebih suka berotot daripada berotak,” bantah Severus tiba-tiba. “Lalu di mana kau akan ditempatkan kalau kau tidak keduanya, Snivellus?” tanya Sirius, menoleh padanya. Lily tampak tak suka dengan keadaan itu. “Ayo kita cari kompartemen lain, Severus,” kata Lily, lalu dia dan Severus bergegas meninggalkan komparte-men. “Ooo..,” kata James, meniru suara angkuh Lily dengan baik. Lalu dua anak laki-laki lain memasuki kompartemen itu. Yang satu agak gemuk, rambutnya coklat kehitaman, bernama Remus John Lupin. Yang lainnya, gemuk dan pendek, rambutnya coklat keabuan sewarna bulu tikus, bernama Peter Pettigrew.

The Story of James and Lily Potter - Bagian 4


James ingin sekali mengajak anak perempuan itu berkenalan, tetapi anak itu sudah meninggalkan toko. Nampaknya dia bergegas. Mr. Ollivander menghampiri-nya. “Anak yang cantik ya?” kata Mr. Ollivander mengejutkan James. “Ya, Sir,” kata James, melihat Mr. Ollivander membawa kira-kira tiga buah kotak kecil panjang. “Ek dan nadi jantung naga, keras, tiga puluh dua senti, silahkan coba mengayunkannya,” kata Mr. Ollivander, menyerahkan sebuah tongkat kepada James. James mengayunkannya. Tidak terjadi apa-apa.
Mr. Ollivander merebutnya dan mengembalikannya ke kotaknya. “Bukan, rupanya. Kalau begitu kita coba yang ini, dua puluh dua setengah senti, kayu kenari, elastis, intinya rambut unicorn, silahkan,” kata Mr. Ollivander, menyerahkan tongkat lainnya yang jauh lebih pendek daripada tongkat sebelumnya. James mengambilnya, mengayunkannya, dan tidak terjadi apa-apa. Mr. Ollivander merebutnya lagi dan mengembalikan ke kotaknya. Lalu dia membuka kotak terakhir yang tadi dibawanya.
“Kalau itu bukan, maka kita bisa mencoba yang ini. Mahogani. Dua puluh tujuh setengah senti. Intinya bulu ekor phoenix. Lentur, pasti sakti dan sangat cocok untuk transfigurasi. Silakan,” kata Mr. Ollivander lagi. Tongkat yang ini lebih panjang dari tongkat kedua, tapi lebih pendek dari tongkat pertama. James mengambilnya. Entah mengapa dia merasa nyaman ketika menyentuhnya. Dia mengayunkannya, dan nampaknya setitik cahaya putih dari lampu mendadak lebih terang, dan cahayanya keemasan. “Wow!” seru James.
“Wah, Anda mendapatkan tongkat Anda, Mr. Potter,” kata Mr. Ollivander, mengembalikan tongkat ketiga di kotaknya dan membungkusnya dengan kertas coklat. James mengambil kotak yang terbungkus itu, dan membayar enam Galleon dan lima Sickle. Ketika dia keluar, dia bertemu salah satu sahabatnya, anak laki-laki yang tingginya hampir sama dengannya, rambutnya hitam bergelom-bang, Sirius Black.
“Mr. Potter, ini dia, James di sini,” teriak Sirius ke arah belakangnya. Lalu dia menoleh ke James lagi. “Kenapa kau menghilang begitu saja? Ayahmu dan aku mencari-cari kau ke setiap sudut Diagon Alley!” seru Sirius sok galak. Dan seorang penyihir laki-laki yang kira-kira berusia 40-an menghampiri mereka. “Kau di sini rupanya. Sudah dapatkan tongkatmu?” tanya penyihir itu ramah. Dia jangkung, berambut hitam rapi, jubahnya hitam legam dengan kancing-kancing emas. Di bagian kiri jubahnya ada lencana berben-tuk persegi panjang, berwarna emas, de-ngan tulisan “Mr. Harvey Potter, Minister of Magic” (Mr. Harvey Potter, Menteri Sihir) berwarna merah tua.
“Sudah, Dad” kata James senang, menunjukkan bungkusannya. “Nah, Sirius, kau belum dapat kan? Masuklah,” kata Mr. Potter kepada Sirius. “Ya Sir,” kata Sirius, lalu melangkah masuk. “Perlu ditemani, Sirius?” tanya James, ketika Sirius mulai membuka pintu. “Tak usah,” jawab Sirius, lalu masuk ke dalam toko. James menoleh lagi pada ayahnya.
“Nah, James, sudah dapat semua kan? Buku, jubah, kuali, bahan-bahan ramuan, burung hantu, dan tongkat sihir. Lengkap?” tanya Mr. Potter. “Belum, Dad! Aku belum beli sapu!” seru James pada ayahnya. “James! Anak kelas satu tidak boleh membawa sapu,” bantah Mr. Potter. “Oh, ayolah Dad,” pinta James memelas. “Kalau begitu, biar Dad tunjukkan sesuatu padamu,” kata Mr. Potter, lalu mengajak James ke toko perlengkapan Quidditch.
“Kau lihat itu, James?” tanya Mr. Potter, menunjuk sebuah sapu berwarna hitam dengan tulisan keemasan. “Komet Dua Empat Puluh! Dad mau membelikan-ku sapu itu?” tanya James bersemangat. “Ya, tapi nanti setelah Dad melihat hasil ujian akhir tahun pertamamu. Jika hasilnya bagus, akan kubelikan kau sapu itu,” kata Mr. Potter. James langsung kehilangan semangatnya, wajahnya beru-bah muram.

Senin, 04 Juni 2012

The Story of James and Lily Potter - Bagian 3


Hari telah berganti. Matahari baru saja terbit ketika Lily terbangun dari tidur lelapnya. Hari ini dia merasa sangat senang, karena ternyata dia memiliki kemampuan sihir. Dia keluar dari kamarnya, pergi mandi, lalu langsung menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah di sana, tetapi Petunia tidak di sana. “Di mana Petunia?” tanya Lily. “Dia masih tidur. Dia tidak berminat ikut,” jawab Mrs. Evans sambil menyiapkan makan pagi untuk Lily.
Setelah perjalanan yang cukup jauh, ketiga Evans pun sampai di Leaky Cauldron, London. Mereka memasuki Diagon Alley melalui pintu ajaib di halaman belakang rumah minum itu.
Hampir semua keperluan telah dibeli. Hanya tinggal tongkat sihir saja yang belum dibeli Lily untuk keperluan sekolahnya. Maka, dia menuju toko Ollivanders, sementara orang tuanya menunggu di luar sambil mengobrol dengan kenalan mereka, yang ternyata anaknya juga penyihir, Mr. dan Mrs. Macdonald. Ketika dia masuk ada seorang anak laki-laki yang juga masuk setelahnya. Anak laki-laki itu tinggi, dan sangat tampan. Mereka saling berpandangan beberapa saat, sampai seorang penyihir dewasa menghampiri mereka. “Ah, Mr. Potter, baru setahun lalu kita bertemu karena sepupu Anda membeli tongkat, maka tahun ini giliran Anda?” tanya penyihir dewasa itu penuh rasa hormat. Anak laki-laki itu tersenyum.
“Ya, Mr. Ollivander. Tapi alang-kah lebih baik Anda melayani anak pe-rempuan ini dulu, karena dia yang masuk lebih dulu,” kata anak laki-laki itu. “Sung-guh baik hati. Kau mirip sekali ayahmu, Mr. Potter. Nah, nak, mari ikut aku,” kata penyihir pria itu menoleh pada Lily. Lily mengikutinya masuk ke sebuah koridor yang penuh kotak-kotak kecil dan panjang.
“Nah, siapa namamu, Nak?” tanya Mr. Ollivander, penyihir dewasa pembuat tongkat sihir itu, sambil memilih dan mengambil salah satu kotak. “Lily Evans,” jawab Lily, ketika Mr. Ollivander membuka kotak yang tadi diambilnya di hadapan Lily. “Dua puluh lima setengah senti, mendesir jika digerakkan, terbuat dari dahan dedalu. Intinya nadi jantung naga. Tongkat yang bagus untuk menyihir. Cobalah mengayunkannya,” kata Mr. Ollivander, menyerahkan sebatang kayu kecil panjang. Lily mengambilnya, mengayunkannya, dan semburat bunga api merah keemasan meluncur dari ujungnya.
“Wah, baru kali ini aku menemui penyihir yang mendapatkan tongkat yang memilihnya sekali coba,” kata Mr. Ollivander nampak senang, mengembalikan tongkat itu ke dalam kotaknya dan membungkusnya dengan kertas coklat. “Maaf, Sir, tapi siapa anak laki-laki yang di depan itu?” tanya Lily ketika Mr. Ollivander masih sibuk membungkus. “Oh, apakah kau salah satu kelahiran-Muggle?” tanya Mr. Ollivander. “Ya, Sir,” jawab Lily. “Oh, pantas kau tidak mengenalnya. Dia adalah James Potter, anak tunggal Mr. Harvey Potter, Menteri Sihir. Tapi dia jarang membangga-bangga-kannya, sungguh anak yang rendah hati ya?” kata Mr. Ollivander, yang baru saja selesai membungkus kotak yang berisi tongkat sihir Lily. “Ya Sir,” kata Lily, menerima bungkusannya, dan membayar enam Galleon dan tiga Sickle. Dia segera meninggalkan toko, karena Petunia sendi-rian di rumah, dan ketika dia keluar toko, dia berpandangan mata lagi dengan anak laki-laki itu, dan sekilas melihat anak itu tersenyum kepadanya.

The Story of James and Lily Potter - Bagian 2


“Oh, Lily, darimana saja kau?” tanya Mr. Evans, ayah Lily. “Hanya duduk-duduk di taman bermain. Ada apa Dad?” tanya Lily keheranan. “Ini Professor Dumbledore, Lily. Dia bilang mau mengatakan sesuatu, tapi harus menunggumu pulang,” jawab Mrs. Evans, senang. “Selamat malam, Lily,” sapa Professor Dumbledore yang berambut dan berjeng-got keperakan, memakai pakaian seperti jubah berwarna biru langit malam.
Lily menatap mata biru-muda-cerah laki-laki tua itu. Kalau dia tidak salah ingat, Severus berkata bahwa Kepala Sekolah Hogwarts bernama Professor Dumbledore, yang sudah tua namun brilian. Maka Lily memberanikan diri bertanya. “Apa Anda Kepala Sekolah Hogwarts?”
Dumbledore tersenyum. “Kau sudah tahu Hogwarts, rupanya?” tanyanya sambil tersenyum, jenggotnya yang keperakan melambai sedikit. “Apa itu Hogwarts?” tanya Mr. Evans bingung. “Hogwarts adalah Sekolah Sihir, Mr. Evans,” jawab Dumbledore, tersenyum lagi. Mr. dan Mrs. Evans melempar pandang bingung pada anak bungsunya. Dumbledore menyadari hal ini. “Kami telah mengamati Lily, Mr. Evans. Dia menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan sihir, sejak usianya tujuh tahun,” kata Dumbledore. “Tujuh tahun?” tanya Mrs. Evans. “Ya. Tidakkah Anda menyadari hal-hal aneh terjadi selama empat tahun terakhir, Mrs. Evans?” tanya Dumbledore ramah. “Ya, dia bisa terbang dari ayunan,” kata Petunia menyela. “Itu sungguh luar biasa. Terbang tanpa alat itu sungguh hal luar biasa dalam dunia sihir. Kau akan menjadi ahli sihir yang hebat, Lily,” kata Dumbledore tenang, menatap Lily sekarang. “Anda mengatakan dia hebat, Sir? Dia sama sekali tidak hebat, Sir! Dia itu aneh, Sir!” seru Petunia tiba-tiba, mengagetkan setiap orang, kecuali Dumbledore.
Dumbledore ganti memandang Petunia sekarang. “Tuney!” pekik Mrs. Evans memperingatkan. Petunia langsung berlari, naik ke lantai dua. “Maafkan anak sulung kami, Sir,” kata Mr. Evans ketika Petunia menghilang dari pandangan. “Tidak apa-apa, Mr. Evans. Hal demikian wajar terjadi,” kata Dumbledore tenang. Mr. dan Mrs. Evans nampak lega. Kemudian mereka melanjutkan pembicara-an tentang Lily yang diterima di Hog-warts, dan ketika hari telah benar-benar gelap, Dumbledore meninggalkan keluarga itu.

The Story of James and Lily Potter - Terinspirasi dari Novel-novel Harry Potter - Bagian 1


Dua orang anak perempuan, kira-kira usianya tiga belas tahun dan sebelas tahun, keluar dari rumah di tepi danau itu. Mereka adalah kakak-beradik Evans, Petunia dan Lily Evans. Sayangnya, hubungan mereka tidak terlalu baik, karena Petunia menganggap Lily aneh. Tetapi, sesungguhnya Lily tidak aneh, melainkan dia istimewa. Kedua orang tua mereka sangat bangga terhadap keistime-waan Lily itu, sehingga membuat Petunia iri.
Di siang hari yang cerah itu, Lily dan Petunia berjalan ke arah taman bermain yang sepi. Ketika mereka tiba, hanya ada mereka di sana. Sebuah cerobong asap besar mendominasi kaki langit di kejauhan.
Lily dan Petunia sedang bermain ayunan. Lily berayun lebih tinggi daripada Petunia. “Lily, jangan!” jerit Petunia.
Tetapi Lily telah mengayun ayunannya sampai setinggi mungkin dan terbang ke udara, benar-benar terbang, menuju langit sambil tertawa keras, dan alih-alih terlempar jatuh ke aspal tempat bermain, dia melayang seperti pemain trapeze membelah udara, berada di atas terlalu lama, kemudian mendarat terlalu ringan.
“Mummy sudah melarangmu!” seru Petunia, lalu menghentikan ayunannya dengan menekankan tumit sandalnya ke tanah, membuat bunyi berderak menciut, kemudian dia melompat berdiri, tangan di pinggul. “Mummy bilang kau tidak boleh begitu, Lily!” seru Petunia lagi.
“Tapi aku baik-baik saja,” kata Lily, masih terkekeh. “Tuney, lihat ini. Lihat apa yang bisa kulakukan,” lanjutnya.
Petunia memandang berkeliling. Tempat bermain itu kosong, hanya ada mereka berdua. Lily telah memungut bunga yang terjatuh dari semak. Petunia mendekat, kentara sekali tercabik antara ingin tahu dan tidak setuju. Lily menunggu sampai Petunia sudah cukup dekat untuk melihat dengan jelas, kemudi-an mengulurkan telapak tangannya. Bunga itu ada di sana, membuka dan menutup mahkota bunganya, seperti tiram ganjil berbibir banyak.
“Hentikan!” jerit Petunia. “Ini tidak melukaimu,” kata Lily, tapi dia mengatupkan tangannya ke bunga itu dan melemparnya kembali ke tanah.
“Itu tidak benar,” kata Petunia, tetapi matanya mengikuti jatuhnya bunga ke tanah dan beberapa saat menatapnya. “Bagaimana kau melakukannya?” dia menambahkan, dan kentara sekali ada keinginan yang besar dalam suaranya.
“Sudah jelas, kan?” tanya seorang anak laki-laki yang baru saja melompat dari balik semak. Rambutnya hitam terlalu panjang, dan pakaiannya sangat tidak serasi sehingga kelihatannya sengaja : celana jinsnya terlalu pendek, mantelnya lusuh dan sangat kebesaran, sepertinya mantel orang dewasa, dan kemejanya aneh seperti baju luar pelukis. Rupanya dia bersembunyi di sana sejak tadi.
Petunia menjerit dan berlari mundur ke arah ayunan. Tetapi, Lily, walaupun kentara sekali kaget, tetap berada di tempatnya. Si anak laki-laki nampaknya menyesali kemunculannya, rona merah menyemburat di wajahnya yang pucat ketika dia memandang Lily.
“Apa yang jelas?” tanya Lily. Si anak laki-laki nampak gugup, namun bergairah. Sambil mengerling Petunia, yang sekarang berdiri di sebelah ayunan di kejauhan, dia merendahkan suaranya dan berkata, “Aku tahu kau ini apa.”
“Apa maksudmu?” tanya Lily terkejut. “Kau... kau penyihir,” bisik si anak laki-laki. Lily tampak terhina. “Tidak sopan mengatai orang begitu!” seru Lily, nampak marah.
“Betul. Kau penyihir. Aku sudah beberapa waktu mengamatimu. Tapi tak ada yang salah dengan itu. Ibuku penyihir, dan aku juga,” kata si anak laki-laki, kegugupannya kentara sekali.
Petunia tertawa, tetapi tawanya seperti air dingin. Lily berjalan menjauh dari si anak laki-laki. “Penyihir. Tidak ada penyihir di dunia ini! Aku tahu kau! Kau pasti si aneh Snape yang tinggal di Spinner’s End!” seru Petunia, lalu dia tertawa dingin lagi. Anak laki-laki itu menoleh ke arahnya.
“Memangnya kenapa kalau iya?” tanyanya menantang. “Kau memata-matai kami!” seru Petunia galak. “Tidak. Aku tidak memata-mataimu, paling tidak. Kau Muggle,” jawab anak laki-laki itu santai. “Muggle? Apa maksudmu?” tanya Lily. “Muggle adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan sihir,” jawab Snape menjelaskan, nampak gugup ketika bicara dengan Lily. “Oh, ya. Aku orang normal! Dan kau aneh! Kalau kau bilang begitu, Lily juga aneh!” seru Petunia makin marah, lalu berlari pergi. “Tuney!” panggil Lily, tapi Petunia tidak menoleh. Lily tidak mengejarnya, tetapi menangis.
“Kau tak perlu bersedih,” kata si anak laki-laki. “Siapa sih, kau itu?” tanya Lily, masih menangis. “Namaku Severus Snape,” jawab anak laki-laki itu tenang. “Apa maksudmu dengan penyihir?” tanya Lily, tangisannya mereda. “Kau penyihir, kau memiliki kemampuan sihir,” jawab Severus, menenangkan. “Sihir? Tapi dalam keluargaku tak ada yang bisa,” jawab Lily, meneteskan air mata lagi. “Oh, ya, kau kelahiran-Muggle,” jawab Severus. “Apakah ada bedanya jadi kelahiran-Muggle?” tanya Lily. Keduanya kini duduk di ayunan.
“Tentu saja tidak,” jawab Severus. “Tapi, aku kan tak punya tongkat sihir. Bagaimana aku bisa menyihir?” tanya Lily, sekarang kebingungan. “Kau belum berangkat ke Hogwarts,” jawab Severus. “Hogwarts?” tanya Lily semakin bingung. “Ya, Hogwarts. Sekolah Sihir. Kita akan belajar sihir di sekolah itu. Ketika kita belum bersekolah di sana, sihir hanya terjadi di saat-saat tertentu saja, dan yang sederhana. Ketika kita sudah menerima surat yang dikirim burung hantu, kita akan bisa membeli tongkat sihir dan mengontrol sihir yang akan kita lakukan,” jelas Severus.
Lily mengangguk mengerti. Mere-ka mulai membicarakan banyak hal ten-tang sihir, segala hal yang sudah diketahui Severus. Tak terasa hari mulai gelap. Severus pun pulang ke rumahnya. Lily juga berjalam ke rumahnya yang tak jauh dari taman bermain itu. Kedua orang tuanya dan kakaknya telah menunggunya, dan ada satu orang lagi, yang nampak tua, dan tak dikenal Lily.