“Aku
baru ingat, Sirius, itu anak perempuan yang kulihat di toko Mr. Ollivander hari
itu,” kata James kepada Sirius ketika Professor McGonnagal memanggil “Lily
Evans”. James memang menceritakan pertemuannya dengan anak perempuan itu lewat
surat. “Oh, dia memang sangat cantik, James. Tapi kudengar dia
kelahiran-Muggle,” jawab Sirius. “Aku tak peduli, Sirius. Aku menyukainya sejak
pertama melihatnya di Diagon Alley,” kata James bersemangat, ketika Topi
Seleksi meneriakkan “Gryffin-dor” untuk Lily. “James Potter,” panggil Professor
McGonagall. James pun maju, yakin sekali bahwa dia juga akan masuk Gryffindor,
agar keinginannya untuk mengajak anak perempuan yang bernama Lily itu berkenalan
bisa terwujud. “James Potter. Membingungkan. Semua asrama cocok untuk
karakternya. Sosok yang pemberani dan jujur, cocok untuk Gryffin-dor. Licik dan
cerdas, cocok untuk Slythe-rin. Rajin dan berotak encer, cocok untuk Ravenclaw.
Mau bekerja keras dan setia, cocok untuk Hufflepuff. Di mana kau mau
ditempatkan, Nak?” gumam Topi itu pelan, ketika James memakainya. James berkata
dalam hati, “Kau yakin aku boleh memilih? Kalau ya, tentu saja aku memilih
Gryffindor. Yang berani, jujur, cerdas, pandai, mau bekerja keras, dan setia.
Cocok sekali kan untuk Gryffindor?”
Topi
itu diam, cukup lama, kira-kira semenit penuh. James bingung, begitu juga para
guru dan semua anak. Lalu topi itu bergumam lagi, “Kuakui kalimatmu benar, nak.
Aku menemukan garis keturunan Peverell, seluruh Peverell di Gryffindor, dan, aku
juga menemukan gars keturunan Gryffindor! Nah kalau begitu, GRYFFINDOR!” kata
Topi itu, dan kata terakhir diucapkannya dengan teriakan. Seluruh anak
Gryffindor bertepuk tangan karena anak tunggal Menteri bergabung dengan mereka.
James pun berjalan ke meja Gryffindor dan duduk di hadapan Lily.
“Hai,
aku James Potter,” kata James mengulurkan tangannya. “Ya, aku sudah tahu. Aku
Lily Evans,” jawab Lily dan menjabat tangan James, tapi dia nampak masih kesal
karena kejadian di kereta. “Kita pernah bertemu di Diagon Alley, apa kau
ingat?” tanya James. “Ya, tentu saja. Kau yang berbaik hati membiarkanku
dilayanani lebih dulu, kalau tidak mungkin aku ke sini dengan banyak luka,”
jawab Lily masih kesal. “Kenapa begitu?” tanya James bingung. “Waktu itu aku
bergegas pulang. Kakakku sendirian di rumah. Kalau aku pulang lebih malam,
mungkin dia akan marah-marah dengan memukuliku,” jawab Lily, nam-paknya
kekesalannya mereda. “Kakak? Kau punya kakak? Kelas berapa dia?” tanya James.
“Kakak dan orang tuaku Muggle,” jawab Lily pelan. “Oh, maaf,” kata James,
suaranya direndahkan, dan Lily hanya mengangguk.
“Hey, James,” panggil Sirius sambil menepuk punggung
James yang sedang mengobrol dengan Lily. “Kau di Gryffindor?” tanya James
senang. “Yap! Bagus, bukan?” jawab Sirius juga senang, lalu duduk di sebelah
James. “Sangat! Bagaimana dengan Remus dan Peter?” tanya James. “Tak tahu, nama
mereka belum dipanggil. Dan, apakah kau tahu, Snivellus masuk Slytherin?” jawab
Sirius. “Oh dia memang cocok di sana,” jawab James sambil tertawa pelan. “Dan
ibuku akan memarahiku,” jawab Sirius, tapi dia sama sekali tidak sedih, seakan
dia senang sekali telah melanggar peraturan. “Kena-pa?” tanya James heran. “Oh,
jangan pura-pura tidak tahu, James,” kata Sirius. “Ya, ya, aku mengerti. Ah,
Sirius, ini Lily Evans, yang kulihat di Diagon Alley hari itu,” jawab James.
“Oh, hai. Aku Sirius Black,” kata Sirius yang sekarang menoleh ke arah Lily dan
mengulurkan tangannya. “Aku Lily Evans,” jawab Lily lalu menjabat tangan
Sirius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar