James
ingin sekali mengajak anak perempuan itu berkenalan, tetapi anak itu sudah
meninggalkan toko. Nampaknya dia bergegas. Mr. Ollivander menghampiri-nya.
“Anak yang cantik ya?” kata Mr. Ollivander mengejutkan James. “Ya, Sir,” kata
James, melihat Mr. Ollivander membawa kira-kira tiga buah kotak kecil panjang.
“Ek dan nadi jantung naga, keras, tiga puluh dua senti, silahkan coba
mengayunkannya,” kata Mr. Ollivander, menyerahkan sebuah tongkat kepada James.
James mengayunkannya. Tidak terjadi apa-apa.
Mr.
Ollivander merebutnya dan mengembalikannya ke kotaknya. “Bukan, rupanya. Kalau
begitu kita coba yang ini, dua puluh dua setengah senti, kayu kenari, elastis,
intinya rambut unicorn, silahkan,”
kata Mr. Ollivander, menyerahkan tongkat lainnya yang jauh lebih pendek
daripada tongkat sebelumnya. James mengambilnya, mengayunkannya, dan tidak
terjadi apa-apa. Mr. Ollivander merebutnya lagi dan mengembalikan ke kotaknya.
Lalu dia membuka kotak terakhir yang tadi dibawanya.
“Kalau
itu bukan, maka kita bisa mencoba yang ini. Mahogani. Dua puluh tujuh setengah
senti. Intinya bulu ekor phoenix.
Lentur, pasti sakti dan sangat cocok untuk transfigurasi. Silakan,” kata Mr.
Ollivander lagi. Tongkat yang ini lebih panjang dari tongkat kedua, tapi lebih
pendek dari tongkat pertama. James mengambilnya. Entah mengapa dia merasa
nyaman ketika menyentuhnya. Dia mengayunkannya, dan nampaknya setitik cahaya
putih dari lampu mendadak lebih terang, dan cahayanya keemasan. “Wow!” seru
James.
“Wah,
Anda mendapatkan tongkat Anda, Mr. Potter,” kata Mr. Ollivander, mengembalikan
tongkat ketiga di kotaknya dan membungkusnya dengan kertas coklat. James
mengambil kotak yang terbungkus itu, dan membayar enam Galleon dan lima Sickle.
Ketika dia keluar, dia bertemu salah satu sahabatnya, anak laki-laki yang
tingginya hampir sama dengannya, rambutnya hitam bergelom-bang, Sirius Black.
“Mr.
Potter, ini dia, James di sini,” teriak Sirius ke arah belakangnya. Lalu dia
menoleh ke James lagi. “Kenapa kau menghilang begitu saja? Ayahmu dan aku mencari-cari
kau ke setiap sudut Diagon Alley!” seru Sirius sok galak. Dan seorang penyihir
laki-laki yang kira-kira berusia 40-an menghampiri mereka. “Kau di sini
rupanya. Sudah dapatkan tongkatmu?” tanya penyihir itu ramah. Dia jangkung,
berambut hitam rapi, jubahnya hitam legam dengan kancing-kancing emas. Di
bagian kiri jubahnya ada lencana berben-tuk persegi panjang, berwarna emas, de-ngan
tulisan “Mr. Harvey Potter, Minister of
Magic” (Mr. Harvey Potter, Menteri Sihir) berwarna merah tua.
“Sudah,
Dad” kata James senang, menunjukkan bungkusannya. “Nah, Sirius, kau belum dapat
kan? Masuklah,” kata Mr. Potter kepada Sirius. “Ya Sir,” kata Sirius, lalu
melangkah masuk. “Perlu ditemani, Sirius?” tanya James, ketika Sirius mulai
membuka pintu. “Tak usah,” jawab Sirius, lalu masuk ke dalam toko. James
menoleh lagi pada ayahnya.
“Nah,
James, sudah dapat semua kan? Buku, jubah, kuali, bahan-bahan ramuan, burung
hantu, dan tongkat sihir. Lengkap?” tanya Mr. Potter. “Belum, Dad! Aku belum
beli sapu!” seru James pada ayahnya. “James! Anak kelas satu tidak boleh
membawa sapu,” bantah Mr. Potter. “Oh, ayolah Dad,” pinta James memelas. “Kalau
begitu, biar Dad tunjukkan sesuatu padamu,” kata Mr. Potter, lalu mengajak
James ke toko perlengkapan Quidditch.
“Kau
lihat itu, James?” tanya Mr. Potter, menunjuk sebuah sapu berwarna hitam dengan
tulisan keemasan. “Komet Dua Empat Puluh! Dad mau membelikan-ku sapu itu?”
tanya James bersemangat. “Ya, tapi nanti setelah Dad melihat hasil ujian akhir
tahun pertamamu. Jika hasilnya bagus, akan kubelikan kau sapu itu,” kata Mr.
Potter. James langsung kehilangan semangatnya, wajahnya beru-bah muram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar