Pesta
telah berakhir. Remus dan Peter ada di Gryffindor, bersama kedua teman mereka.
Prefek Gryffindor, mengantar semua anak kelas satu yang ditempatkan di
Gryffindor ke menara Gryffindor. Ketika sampai, dua orang gadis kelas lima
menghampiri James yang sedang bersama ketiga temannya.
“Hai.
Apakah kau, Potter?” tanya salah seorang gadis dari kedua gadis kelas lima itu.
Dia kurus, tingginya sekitar tiga puluh senti lebih tinggi daripada James,
rambutnya panjang dan berwarna hitam pekat. “Ya, aku James Potter,” jawab James
singkat. “Dia benar-benar tampan, seperti yang orang-orang bicarakan,” bisik
gadis yang satunya, tingginya kira-kira
dua senti lebih pendek dari temannya, rambutnya pirang. “Iya, benar.
Sungguh sangat tampan,” jawab gadis yang tadi menanyai James, juga berbisik.
Tetapi bisikan kedua gadis itu terdengar oleh James. “Maaf?” tanya James,
gayanya cool bagaikan selebritis.
“Tidak apa-apa. Um, aku Theresia Tan,” kata gadis yang berambut hitam. “Aku
Felicia Stanner,” kata gadis yang berambut pirang. “James Potter,” jawab James
singkat. “Senang berkenalan denganmu, Potter,” kata kedua gadis, hampir
bersamaan. “Senang berkenalan dengan kalian juga,” kata James, tersenyum,
senyumannya serasa menghipnotis setiap wanita yang melihatnya.
“Kau
terkenal, James!” kata Sirius, ketika mereka berempat telah sampai di kamar.
Mereka mendapat kamar yang sama, dengan anak laki-laki lain yang juga kelas
satu, Arthur Weasley. Tapi, anak itu sedang tidak di kamar, dia masih di Ruang
Rekreasi Gryffindor, sehingga mereka berempat bebas bicara. “Bagaimana bisa?”
tanya James bingung. “Ya, kau tahu sendiri, kau kan anak tunggal Menteri yang
sangat tampan,” jawab Peter seakan mengejek. “Mereka benar, kalau begitu?” kata
Remus, lalu tertawa. “Oh ya, kau yang paling tampan di antara kami, James,”
kata Peter kagum. Peter memang mengagumi James sejak awal persahabatan mereka.
“Banyak gadis akan naksir kau sobat,” kata Sirius, tapi
suaranya seperti orang tua yang khawatir ketika anaknya akan pergi jauh. “Apakah
itu akan termasuk, Evans, Sirius?” tanya James, wajahnya berseri-seri.
“Mungkin,” jawab Sirius datar. “Siapa Evans?” tanya Peter. Wajahnya menunjukkan
kebingungannya. “Gadis cantik yang duduk di hadapan James ketika pesta tadi,”
jawab Sirius. “Kau selalu suka menjawab apa yang seharusnya kujawab, Sirius,”
kata James, marah tetapi bercanda. “Bukankah itu baik? Kau harus menyimpan
suaramu untuk menolak para gadis, bila kau benar-benar menyukai Evans,” kata
Sirius, lalu tertawa pelan. “Kau benar, Sirius!” seru James dan mengedipkan
sebelah matanya ke arah Sirius. “Hey! Kita masih kelas satu. Bisakah kita
membicarakan hal lain, yang lebih sesuai untuk kita?” kata Remus. “Apa,
misalnya?” tanya James. “Membuat kekacauan, dan mengerjai Snivellus mungkin
akan jadi hal yang menyenang-kan bagi kita, James,” kata Sirius, wajahnya cerah
ceria sekarang. “Aku tidak berminat pada kekacauan,” kata Remus lalu mengambil
salah satu bukunya dari dalam tasnya. Seorang anak laki-laki seumuran mereka berempat masuk ke kamar itu. “Oh, rupanya kau yang akan menempati ranjang terakhir di kamar ini,“ kata Sirius pada anak laki-laki yang tingginya hampir sama dengannya, rambutnya merah men-colok dan ada bintik-bintik kecil di wa-jahnya. “Ya. Ada masalah?” tanya anak la-ki-laki itu, nada suaranya seperti menan-tang. “Tidak ada. Siapa namamu?” tanya James, ramah. “Weasley, kurasa. Rambut merah mencolok dan bintik di wajah,” kata Peter menebak. “Yeah, kau benar. Arthur Weasley. Dan,” kata si anak laki-laki yang menoleh ke arah Peter, lalu sekarang menoleh ke arah James, “Kau pasti Potter?” tanya anak yang bernama Arthur itu. “Ya. Kau bisa panggil aku James kalau kau mau,” jawab James. “Baiklah. Lalu, boleh aku tahu nama kalian bertiga?” tanya Arthur, menoleh ke Sirius, Peter, dan Remus bergantian. “Aku Sirius Black, ini Peter Pettigrew, dan yang membaca buku itu Remus Lupin,” jawab Sirius, sama ramahnya dengan James. “Kau harus berbahagia, Arthur. Mereka tak biasanya ramah dengan orang yang baru dikenal,” kata Peter, lalu tertawa pelan. “Peter!” kata Sirius, marah tetapi bercanda. “Um, maaf. Tapi, aku sesungguhnya tak peduli,” kata Arthur pelan, lalu berbaring di atas ranjangnya dan menutup tirai ranjangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar