Hari
telah berganti. Matahari baru saja terbit ketika Lily terbangun dari tidur
lelapnya. Hari ini dia merasa sangat senang, karena ternyata dia memiliki
kemampuan sihir. Dia keluar dari kamarnya, pergi mandi, lalu langsung menuju
ruang makan. Kedua orang tuanya sudah di sana, tetapi Petunia tidak di sana.
“Di mana Petunia?” tanya Lily. “Dia masih tidur. Dia tidak berminat ikut,”
jawab Mrs. Evans sambil menyiapkan makan pagi untuk Lily.
Setelah
perjalanan yang cukup jauh, ketiga Evans pun sampai di Leaky Cauldron, London.
Mereka memasuki Diagon Alley melalui pintu ajaib di halaman belakang rumah
minum itu.
Hampir
semua keperluan telah dibeli. Hanya tinggal tongkat sihir saja yang belum
dibeli Lily untuk keperluan sekolahnya. Maka, dia menuju toko Ollivanders,
sementara orang tuanya menunggu di luar sambil mengobrol dengan kenalan mereka,
yang ternyata anaknya juga penyihir, Mr. dan Mrs. Macdonald. Ketika dia masuk
ada seorang anak laki-laki yang juga masuk setelahnya. Anak laki-laki itu
tinggi, dan sangat tampan. Mereka saling berpandangan beberapa saat, sampai seorang
penyihir dewasa menghampiri mereka. “Ah, Mr. Potter, baru setahun lalu kita
bertemu karena sepupu Anda membeli tongkat, maka tahun ini giliran Anda?” tanya
penyihir dewasa itu penuh rasa hormat. Anak laki-laki itu tersenyum.
“Ya,
Mr. Ollivander. Tapi alang-kah lebih baik Anda melayani anak pe-rempuan ini
dulu, karena dia yang masuk lebih dulu,” kata anak laki-laki itu. “Sung-guh
baik hati. Kau mirip sekali ayahmu, Mr. Potter. Nah, nak, mari ikut aku,” kata
penyihir pria itu menoleh pada Lily. Lily mengikutinya masuk ke sebuah koridor
yang penuh kotak-kotak kecil dan panjang.
“Nah,
siapa namamu, Nak?” tanya Mr. Ollivander, penyihir dewasa pembuat tongkat sihir
itu, sambil memilih dan mengambil salah satu kotak. “Lily Evans,” jawab Lily,
ketika Mr. Ollivander membuka kotak yang tadi diambilnya di hadapan Lily. “Dua
puluh lima setengah senti, mendesir jika digerakkan, terbuat dari dahan dedalu.
Intinya nadi jantung naga. Tongkat yang bagus untuk menyihir. Cobalah
mengayunkannya,” kata Mr. Ollivander, menyerahkan sebatang kayu kecil panjang.
Lily mengambilnya, mengayunkannya, dan semburat bunga api merah keemasan meluncur
dari ujungnya.
“Wah,
baru kali ini aku menemui penyihir yang mendapatkan tongkat yang memilihnya
sekali coba,” kata Mr. Ollivander nampak senang, mengembalikan tongkat itu ke
dalam kotaknya dan membungkusnya dengan kertas coklat. “Maaf, Sir, tapi siapa anak
laki-laki yang di depan itu?” tanya Lily ketika Mr. Ollivander masih sibuk
membungkus. “Oh, apakah kau salah satu kelahiran-Muggle?” tanya Mr. Ollivander.
“Ya, Sir,” jawab Lily. “Oh, pantas kau tidak mengenalnya. Dia adalah James
Potter, anak tunggal Mr. Harvey Potter, Menteri Sihir. Tapi dia jarang
membangga-bangga-kannya, sungguh anak yang rendah hati ya?” kata Mr.
Ollivander, yang baru saja selesai membungkus kotak yang berisi tongkat sihir
Lily. “Ya Sir,” kata Lily, menerima bungkusannya, dan membayar enam Galleon dan
tiga Sickle. Dia segera meninggalkan toko, karena Petunia sendi-rian di rumah,
dan ketika dia keluar toko, dia berpandangan mata lagi dengan anak laki-laki
itu, dan sekilas melihat anak itu tersenyum kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar