Senin, 04 Juni 2012

The Story of James and Lily Potter - Terinspirasi dari Novel-novel Harry Potter - Bagian 1


Dua orang anak perempuan, kira-kira usianya tiga belas tahun dan sebelas tahun, keluar dari rumah di tepi danau itu. Mereka adalah kakak-beradik Evans, Petunia dan Lily Evans. Sayangnya, hubungan mereka tidak terlalu baik, karena Petunia menganggap Lily aneh. Tetapi, sesungguhnya Lily tidak aneh, melainkan dia istimewa. Kedua orang tua mereka sangat bangga terhadap keistime-waan Lily itu, sehingga membuat Petunia iri.
Di siang hari yang cerah itu, Lily dan Petunia berjalan ke arah taman bermain yang sepi. Ketika mereka tiba, hanya ada mereka di sana. Sebuah cerobong asap besar mendominasi kaki langit di kejauhan.
Lily dan Petunia sedang bermain ayunan. Lily berayun lebih tinggi daripada Petunia. “Lily, jangan!” jerit Petunia.
Tetapi Lily telah mengayun ayunannya sampai setinggi mungkin dan terbang ke udara, benar-benar terbang, menuju langit sambil tertawa keras, dan alih-alih terlempar jatuh ke aspal tempat bermain, dia melayang seperti pemain trapeze membelah udara, berada di atas terlalu lama, kemudian mendarat terlalu ringan.
“Mummy sudah melarangmu!” seru Petunia, lalu menghentikan ayunannya dengan menekankan tumit sandalnya ke tanah, membuat bunyi berderak menciut, kemudian dia melompat berdiri, tangan di pinggul. “Mummy bilang kau tidak boleh begitu, Lily!” seru Petunia lagi.
“Tapi aku baik-baik saja,” kata Lily, masih terkekeh. “Tuney, lihat ini. Lihat apa yang bisa kulakukan,” lanjutnya.
Petunia memandang berkeliling. Tempat bermain itu kosong, hanya ada mereka berdua. Lily telah memungut bunga yang terjatuh dari semak. Petunia mendekat, kentara sekali tercabik antara ingin tahu dan tidak setuju. Lily menunggu sampai Petunia sudah cukup dekat untuk melihat dengan jelas, kemudi-an mengulurkan telapak tangannya. Bunga itu ada di sana, membuka dan menutup mahkota bunganya, seperti tiram ganjil berbibir banyak.
“Hentikan!” jerit Petunia. “Ini tidak melukaimu,” kata Lily, tapi dia mengatupkan tangannya ke bunga itu dan melemparnya kembali ke tanah.
“Itu tidak benar,” kata Petunia, tetapi matanya mengikuti jatuhnya bunga ke tanah dan beberapa saat menatapnya. “Bagaimana kau melakukannya?” dia menambahkan, dan kentara sekali ada keinginan yang besar dalam suaranya.
“Sudah jelas, kan?” tanya seorang anak laki-laki yang baru saja melompat dari balik semak. Rambutnya hitam terlalu panjang, dan pakaiannya sangat tidak serasi sehingga kelihatannya sengaja : celana jinsnya terlalu pendek, mantelnya lusuh dan sangat kebesaran, sepertinya mantel orang dewasa, dan kemejanya aneh seperti baju luar pelukis. Rupanya dia bersembunyi di sana sejak tadi.
Petunia menjerit dan berlari mundur ke arah ayunan. Tetapi, Lily, walaupun kentara sekali kaget, tetap berada di tempatnya. Si anak laki-laki nampaknya menyesali kemunculannya, rona merah menyemburat di wajahnya yang pucat ketika dia memandang Lily.
“Apa yang jelas?” tanya Lily. Si anak laki-laki nampak gugup, namun bergairah. Sambil mengerling Petunia, yang sekarang berdiri di sebelah ayunan di kejauhan, dia merendahkan suaranya dan berkata, “Aku tahu kau ini apa.”
“Apa maksudmu?” tanya Lily terkejut. “Kau... kau penyihir,” bisik si anak laki-laki. Lily tampak terhina. “Tidak sopan mengatai orang begitu!” seru Lily, nampak marah.
“Betul. Kau penyihir. Aku sudah beberapa waktu mengamatimu. Tapi tak ada yang salah dengan itu. Ibuku penyihir, dan aku juga,” kata si anak laki-laki, kegugupannya kentara sekali.
Petunia tertawa, tetapi tawanya seperti air dingin. Lily berjalan menjauh dari si anak laki-laki. “Penyihir. Tidak ada penyihir di dunia ini! Aku tahu kau! Kau pasti si aneh Snape yang tinggal di Spinner’s End!” seru Petunia, lalu dia tertawa dingin lagi. Anak laki-laki itu menoleh ke arahnya.
“Memangnya kenapa kalau iya?” tanyanya menantang. “Kau memata-matai kami!” seru Petunia galak. “Tidak. Aku tidak memata-mataimu, paling tidak. Kau Muggle,” jawab anak laki-laki itu santai. “Muggle? Apa maksudmu?” tanya Lily. “Muggle adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan sihir,” jawab Snape menjelaskan, nampak gugup ketika bicara dengan Lily. “Oh, ya. Aku orang normal! Dan kau aneh! Kalau kau bilang begitu, Lily juga aneh!” seru Petunia makin marah, lalu berlari pergi. “Tuney!” panggil Lily, tapi Petunia tidak menoleh. Lily tidak mengejarnya, tetapi menangis.
“Kau tak perlu bersedih,” kata si anak laki-laki. “Siapa sih, kau itu?” tanya Lily, masih menangis. “Namaku Severus Snape,” jawab anak laki-laki itu tenang. “Apa maksudmu dengan penyihir?” tanya Lily, tangisannya mereda. “Kau penyihir, kau memiliki kemampuan sihir,” jawab Severus, menenangkan. “Sihir? Tapi dalam keluargaku tak ada yang bisa,” jawab Lily, meneteskan air mata lagi. “Oh, ya, kau kelahiran-Muggle,” jawab Severus. “Apakah ada bedanya jadi kelahiran-Muggle?” tanya Lily. Keduanya kini duduk di ayunan.
“Tentu saja tidak,” jawab Severus. “Tapi, aku kan tak punya tongkat sihir. Bagaimana aku bisa menyihir?” tanya Lily, sekarang kebingungan. “Kau belum berangkat ke Hogwarts,” jawab Severus. “Hogwarts?” tanya Lily semakin bingung. “Ya, Hogwarts. Sekolah Sihir. Kita akan belajar sihir di sekolah itu. Ketika kita belum bersekolah di sana, sihir hanya terjadi di saat-saat tertentu saja, dan yang sederhana. Ketika kita sudah menerima surat yang dikirim burung hantu, kita akan bisa membeli tongkat sihir dan mengontrol sihir yang akan kita lakukan,” jelas Severus.
Lily mengangguk mengerti. Mere-ka mulai membicarakan banyak hal ten-tang sihir, segala hal yang sudah diketahui Severus. Tak terasa hari mulai gelap. Severus pun pulang ke rumahnya. Lily juga berjalam ke rumahnya yang tak jauh dari taman bermain itu. Kedua orang tuanya dan kakaknya telah menunggunya, dan ada satu orang lagi, yang nampak tua, dan tak dikenal Lily.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar