Dua
orang anak perempuan, kira-kira usianya tiga belas tahun dan sebelas tahun,
keluar dari rumah di tepi danau itu. Mereka adalah kakak-beradik Evans, Petunia
dan Lily Evans. Sayangnya, hubungan mereka tidak terlalu baik, karena Petunia
menganggap Lily aneh. Tetapi, sesungguhnya Lily tidak aneh, melainkan dia
istimewa. Kedua orang tua mereka sangat bangga terhadap keistime-waan Lily itu,
sehingga membuat Petunia iri.
Di
siang hari yang cerah itu, Lily dan Petunia berjalan ke arah taman bermain yang
sepi. Ketika mereka tiba, hanya ada mereka di sana. Sebuah cerobong asap besar mendominasi
kaki langit di kejauhan.
Lily
dan Petunia sedang bermain ayunan. Lily berayun lebih tinggi daripada Petunia.
“Lily, jangan!” jerit Petunia.
Tetapi
Lily telah mengayun ayunannya sampai setinggi mungkin dan terbang ke udara,
benar-benar terbang, menuju langit sambil tertawa keras, dan alih-alih
terlempar jatuh ke aspal tempat bermain, dia melayang seperti pemain trapeze membelah udara, berada di atas
terlalu lama, kemudian mendarat terlalu ringan.
“Mummy
sudah melarangmu!” seru Petunia, lalu menghentikan ayunannya dengan menekankan
tumit sandalnya ke tanah, membuat bunyi berderak menciut, kemudian dia melompat
berdiri, tangan di pinggul. “Mummy bilang kau tidak boleh begitu, Lily!” seru
Petunia lagi.
“Tapi
aku baik-baik saja,” kata Lily, masih terkekeh. “Tuney, lihat ini. Lihat apa
yang bisa kulakukan,” lanjutnya.
Petunia
memandang berkeliling. Tempat bermain itu kosong, hanya ada mereka berdua. Lily
telah memungut bunga yang terjatuh dari semak. Petunia mendekat, kentara sekali
tercabik antara ingin tahu dan tidak setuju. Lily menunggu sampai Petunia sudah
cukup dekat untuk melihat dengan jelas, kemudi-an mengulurkan telapak
tangannya. Bunga itu ada di sana, membuka dan menutup mahkota bunganya, seperti
tiram ganjil berbibir banyak.
“Hentikan!”
jerit Petunia. “Ini tidak melukaimu,” kata Lily, tapi dia mengatupkan tangannya
ke bunga itu dan melemparnya kembali ke tanah.
“Itu
tidak benar,” kata Petunia, tetapi matanya mengikuti jatuhnya bunga ke tanah
dan beberapa saat menatapnya. “Bagaimana kau melakukannya?” dia menambahkan,
dan kentara sekali ada keinginan yang besar dalam suaranya.
“Sudah
jelas, kan?” tanya seorang anak laki-laki yang baru saja melompat dari balik
semak. Rambutnya hitam terlalu panjang, dan pakaiannya sangat tidak serasi
sehingga kelihatannya sengaja : celana jinsnya terlalu pendek, mantelnya lusuh
dan sangat kebesaran, sepertinya mantel orang dewasa, dan kemejanya aneh
seperti baju luar pelukis. Rupanya dia bersembunyi di sana sejak tadi.
Petunia
menjerit dan berlari mundur ke arah ayunan. Tetapi, Lily, walaupun kentara
sekali kaget, tetap berada di tempatnya. Si anak laki-laki nampaknya menyesali
kemunculannya, rona merah menyemburat di wajahnya yang pucat ketika dia
memandang Lily.
“Apa
yang jelas?” tanya Lily. Si anak laki-laki nampak gugup, namun bergairah.
Sambil mengerling Petunia, yang sekarang berdiri di sebelah ayunan di kejauhan,
dia merendahkan suaranya dan berkata, “Aku tahu kau ini apa.”
“Apa
maksudmu?” tanya Lily terkejut. “Kau... kau penyihir,” bisik si anak laki-laki.
Lily tampak terhina. “Tidak sopan mengatai orang begitu!” seru Lily, nampak
marah.
“Betul.
Kau penyihir. Aku sudah beberapa waktu mengamatimu. Tapi tak ada yang salah
dengan itu. Ibuku penyihir, dan aku juga,” kata si anak laki-laki, kegugupannya
kentara sekali.
Petunia
tertawa, tetapi tawanya seperti air dingin. Lily berjalan menjauh dari si anak
laki-laki. “Penyihir. Tidak ada penyihir di dunia ini! Aku tahu kau! Kau pasti si
aneh Snape yang tinggal di Spinner’s End!” seru Petunia, lalu dia tertawa
dingin lagi. Anak laki-laki itu menoleh ke arahnya.
“Memangnya
kenapa kalau iya?” tanyanya menantang. “Kau memata-matai kami!” seru Petunia
galak. “Tidak. Aku tidak memata-mataimu, paling tidak. Kau Muggle,” jawab anak
laki-laki itu santai. “Muggle? Apa maksudmu?” tanya Lily. “Muggle adalah
orang-orang yang tidak memiliki kemampuan sihir,” jawab Snape menjelaskan,
nampak gugup ketika bicara dengan Lily. “Oh, ya. Aku orang normal! Dan kau
aneh! Kalau kau bilang begitu, Lily juga aneh!” seru Petunia makin marah, lalu
berlari pergi. “Tuney!” panggil Lily, tapi Petunia tidak menoleh. Lily tidak
mengejarnya, tetapi menangis.
“Kau
tak perlu bersedih,” kata si anak laki-laki. “Siapa sih, kau itu?” tanya Lily, masih
menangis. “Namaku Severus Snape,” jawab anak laki-laki itu tenang. “Apa
maksudmu dengan penyihir?” tanya Lily, tangisannya mereda. “Kau penyihir, kau
memiliki kemampuan sihir,” jawab Severus, menenangkan. “Sihir? Tapi dalam
keluargaku tak ada yang bisa,” jawab Lily, meneteskan air mata lagi. “Oh, ya,
kau kelahiran-Muggle,” jawab Severus. “Apakah ada bedanya jadi kelahiran-Muggle?”
tanya Lily. Keduanya kini duduk di ayunan.
“Tentu
saja tidak,” jawab Severus. “Tapi, aku kan tak punya tongkat sihir. Bagaimana
aku bisa menyihir?” tanya Lily, sekarang kebingungan. “Kau belum berangkat ke
Hogwarts,” jawab Severus. “Hogwarts?” tanya Lily semakin bingung. “Ya,
Hogwarts. Sekolah Sihir. Kita akan belajar sihir di sekolah itu. Ketika kita
belum bersekolah di sana, sihir hanya terjadi di saat-saat tertentu saja, dan
yang sederhana. Ketika kita sudah menerima surat yang dikirim burung hantu,
kita akan bisa membeli tongkat sihir dan mengontrol sihir yang akan kita
lakukan,” jelas Severus.
Lily
mengangguk mengerti. Mere-ka mulai membicarakan banyak hal ten-tang sihir,
segala hal yang sudah diketahui Severus. Tak terasa hari mulai gelap. Severus pun
pulang ke rumahnya. Lily juga berjalam ke rumahnya yang tak jauh dari taman
bermain itu. Kedua orang tuanya dan kakaknya telah menunggunya, dan ada satu
orang lagi, yang nampak tua, dan tak dikenal Lily.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar